Kamis, 07 Juni 2012

Memerdekakan kaum perempuan

Memerdekakan Kaum Perempuan PDF Print
Monday, 16 August 2010
Bagi perempuan, peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini berlangsung di tengah keprihatinan. Beberapa minggu belakangan ini terjadi berbagai peristiwa memilukan yang menimpa sebagian perempuan di negeri yang telah merdeka 65 tahun silam ini.

Selasa (10/8) lalu,di Yogyakarta, Khoir Umi Latifah (25) tewas membakar diri karena menanggung beban berat keluarga. Dia tidak sendirian, tetapi juga mengajak kedua buah hatinya yang masih balita. Sebelumnya, Kamis (5/8), seorang ibu di Tasikmalaya bernama Kokoy (43) mencoba bunuh diri bersama anaknya dengan menabrakkan diri pada kendaraan yang lewat di jalan raya.

Masih banyak kisah miris lainnya di sekeliling kita. Dalam berbagai hal lain, perempuan juga menjadi korban langsung berbagai peristiwa memilukan. Dalam peristiwa ledakan tabung gas elpiji yang terjadi akhirakhir ini,misalnya,ratusan perempuan menjadi korban.Bahkan,puluhan di antara mereka tewas oleh “bom dapur” itu.

Demikian juga penggusuran rumah yang terjadi di berbagai daerah, perempuan merupakan korban yang paling mendapat dampak terberat.Yang mutakhir, dengan melambungnya harga bahan pokok akhir-akhir ini, perempuan juga yang paling merasakan dampaknya. Lagi-lagi, masalah-masalah itu adalah akibat dari kemiskinan dan gagalnya negara dalam melindungi dan menyejahterakan warga negaranya. Pada usia ke-65 kemerdekaan, ternyata banyak perempuan di negeri ini belum merdeka akibat belenggu kemiskinan.

Ketertinggalan Perempuan

Memang, perempuan menjadi korban kemiskinan yang paling besar.Menurut data PBB,dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70% dari mereka adalah perempuan. Demikian juga di Indonesia, dari jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2010 yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15%), 70% dari mereka adalah perempuan. Jika ditelisik,kemiskinan yang menimpa perempuan Indonesia terjadi karena banyak dimensi.

Sebut saja misalnya posisi tawar yang lemah di dalam masyarakat, kultur yang represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan domestik. Bahkan ketidakpedulian negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat guna mengentaskan perempuan dari kubangan kemiskinan ikut berandil.Tak mengherankan jika Human Development Report (HDR) menunjukkan bahwa pembangunan gender di Indonesia amat rendah,yaitu di peringkat ke-90 di dunia.

Hampir tak ada yang menyanggah bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat yang sangat penting karena mereka berhubungan sangat erat dengan upaya pewujudan kesejahteraan.Namun hingga kini perempuan masih tertinggal dalam berbagai bidang kehidupan. Disparitas antara lakilaki dan perempuan terjadi di hampir semua lini. Di bidang pendidikan,sebanyak 11,56% perempuan belum mengenyam pendidikan, sedangkan lakilaki yang belum mengenyam pendidikan hanya 5,43%.

Angka buta aksara perempuan sebesar 12,28%, sedangkan laki-laki 5,84%.Dalam bidang kesehatan,status gizi perempuan masih merupakan masalah utama.Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup.Di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi (86,5%) daripada perempuan (50,2%). Dalam ranah birokrasi, dari 3.741.495 orang, sebanyak 1.550.024 (41,43%) adalah perempuan.

Angka itu memang terlihat cukup tinggi, tetapi karier perempuan dalam birokrasi belum mendapatkan ruang yang adil.Lihat saja,dari pejabat eselon 1 yang berjumlah 645 orang, perempuan hanya 63 orang (9,7%).Adapun pada jabatan eselon II yang berjumlah 11.255, jumlah perempuannya baru 755 (6,71%). Dalam sektor publik lainnya, keberadaan perempuan juga masih sangat terbatas.

Di bidang politik,keterwakilan perempuan di DPR sebesar 101 anggota DPR perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009–2014. Adapun untuk keterwakilan perempuan di DPD,dari total 132 calon anggota DPD, sebesar 17,48% (36 orang) adalah perempuan. Meski meningkat dibandingkan hasil pemilu sebelumnya, angka itu belum memenuhi kuota 30% seperti yang ditargetkan.

Hal ini terjadi karena budaya dan praktik politik di negeri ini belum memberikan kesempatan secara memadai bagi perempuan untuk berkarier dalam dunia politik. Potret nyata kondisi perempuan di atas masih dipersuram dengan berbagai pelanggaran hak dan kejahatan terhadap perempuan. Data kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam, dari 25.522 kasus (2007) menjadi 54.425 kasus (2008) dan dari data tahun 2009–2010, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 143.586 kasus.Angka ini meningkat sebesar 263% dibandingkan tahun sebelumnya.Dari jumlah kasus tersebut,sebagian besar (82%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Angka kejahatan trafficking juga masih tinggi. Setiap tahun lebih dari 100.000 anak dan perempuan diperdagangkan dan dilacurkan.

Memerdekakan Perempuan

Realitas kondisi perempuan di atas menunjukkan masih muramnya kehidupan perempuan di negara kita. Fakta-fakta tentang kemiskinan, ketertinggalan, dan kekerasan terhadap perempuan di atas mestinya harus dijadikan sebagai bahan refleksi dalam memperingati kemerdekaan Indonesia kali ini.Dengan kata lain,peringatan kemerdekaan tahun ini merupakan momen tepat untuk mengupayakan kemerdekaan yang sejati bagi perempuan.

Sudah saatnya dilakukan reorientasi pembangunan nasional yang lebih pro perempuan dan berkeadilan gender. Sebagaimana kita ketahui, pembangunan di Indonesia belum berlangsung optimal karena memberikan manfaat secara timpang atas kesejahteraan terhadap perempuan. Pengarusutamaan gender dalam program pembangunan nasional belum secara memadai terimplementasi dalam kebijakan pembangunan yang riil.

Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan, keterbelakangan ekonomi dan minimnya akses kesehatan terhadap perempuan merupakan bukti yang tak terbantahkan.Keadaan tersebut akhirnya menghadirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Mengingat persoalan kemiskinan perempuan merupakan persoalan yang kompleks dan tidak berdiri sendiri, penanganannya juga harus dilakukan secara integral dan menyeluruh pada semua level.

Pada level struktural, perumusan kebijakan dan strategi pembangunan harus seoptimal mungkin properempuan dan berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender. Di bidang ekonomi, kebijakan pembangunan ekonomi harus membuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk mengakses permodalan usaha kecil. Sudah saatnya pemerintah melakukan perluasan skema kredit bagi pengembangan usaha perempuan.

Demikian juga di bidang pendidikan, kebijakan wajib pendidikan 9 tahun harus disertai dengan konsistensi untuk membiayai anak-anak bangsa agar tidak lagi ada anak yang putus sekolah.Anggaran pendidikan 20% dari APBN/ APBD harus seoptimal mungkin dipergunakan untuk menjamin pendidikan generasi bangsa. Dalam bidang kesehatan,pemerintah harus serius dalam menurunkan AKI, yaitu dengan kebijakan terobosan seperti merevitalisasi posyandu,memberikan pelayanan persalinan di puskesmas dengan standar yang memadai, serta meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan bagi perempuan di semua daerah.

Di bidang politik,sistem politik juga seharusnya memberikan kesempatan yang luas dan afirmasi bagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. Demikian juga partai politik semestinya memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada para perempuan untuk berkiprah dan meniti karier politiknya. Hal ini karena keterlibatan perempuan dalam politik menjadi salah satu strategi untuk mendorong kebijakan publik yang properempuan.

Di samping itu, pemerdekaan perempuan juga harus dilakukan dengan penegakan hukum. Berkenaan dengan semakin meningkatnya kejahatan terhadap perempuan, baik trafficking,KDRT maupun bentuk-bentuk kekerasan lain, para penegak hukum diharapkan lebih tegas melakukan tindakan hukum.

Terkhusus untuk kasuskasus kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang terus meningkat,pemerintah seharusnya menjalin kerja sama penegakan hukum dengan berbagai negara sasaran tenaga kerja Indonesia (TKI) secara lebih intensif dan berkelanjutan. Tidak cukup di situ, upaya pemerdekaan perempuan juga harus dilakukan pada level kultural.

Meskipun pengarusutamaan gender telah menjadi program nasional, upaya penyetaraan perempuan masih menghadapi tantangan budaya, berupa konstruksi sosial masyarakat terhadap peran dan keberadaan perempuan. Bagi banyak masyarakat, perempuan masih dipandang sebagai warga kelas dua yang cukup berperan pada wilayah domestik.

Tentu,seluruh upaya untuk memerdekakan perempuan dari berbagai soal yang membelit tersebut bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah. Semua elemen masyarakat negeri ini harus mengambil bagian dalam penyelesaian berbagai soal di atas.Untuk itu,keterlibatan organisasi dan NGO yang concernpada isu-isu pemberdayaan perempuan harus direvitalisasi. Kerja sama dan kemitraan strategis antara pemerintah dan civil society menjadi kunci keberhasilan dalam memerdekakan kaum perempuan Indonesia.(*)

Dra Hj Ida Fauziyah
Ketua Umum PP Fatayat NU                   

Diambil dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345036/
 
 

Selasa, 08 Mei 2012

Video Pemberdayaan Perempuan

Selamat menikmati....
From youtube.com,,,,

Masalah-masalah Pemberdayaan Perempuan

Terdapat sejumlah persoalan kritis untuk dipikirkan, terutama berkaitan dengan kenyataan bahwa dalam keempat raperda tersebut, masalah perempuan diletakkan sebagai bagian dari Biro Pemberdayaan Masyarakat di bawah kedudukan Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah. Bagian Pemberdayaan Perempuan Biro Pemberdayaan Masyarakat Sekretariat Daerah ini, akan membawahi dua bidang yaitu Bina Organisasi Wanita dan Keluarga Berencana.
Dalam kaitan dengan argumentasi kerangka hukum dan efektivitas pembentukan organisasi perangkat mengenai perempuan, diskusi ini merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, Pembangunan yang Responsif Gender (Pikiran Rakyat, 11/7).
Dalam sejarah langkah pemerintah terhadap masalah perempuan, terdapat beberapa perkembangan yang mesti dicermati. Pada masa Orde Baru, masalah perempuan dibatasi dalam kerangka “urusan peranan wanita”, yang erat dengan Darma Wanita, PKK, dan peranan dalam “keluarga”. Setelah reformasi bergulir, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Kementerian Urusan Peranan Wanita diubah menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Langkah ini, sejalan dengan paradigma pemberdayaan (empowerment) mendasarkan diri pada permasalahan (pengalaman) kongkret perempuan. Selain itu, pendekatan mengarah pada penegakan hak asasi perempuan dan anak, sejalan dengan komitmen pemerintah di antaranya dengan diratifikasi dan diundangkannya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women menjadi UU No. 7 Tahun 1984 serta Convention on the Rights of Child menjadi Keppres No. 36 Tahun 1990.
Sebagai satu alat, digunakanlah analisis gender menemukan langkah pemberdayaan strategis, untuk mengubah kondisi perempuan yang terpuruk menjadi lebih baik (keadilan dan kesetaraan gender). Sejalan dengan itu, dalam masyarakat internasional, terutama di negara-negara berkembang, terdapat perkembangan pemikiran dari “perempuan dalam pembangunan” (women in development), “perempuan dan pembangunan” (women and development) menjadi “gender dalam pembangunan” (gender and development).
Tantangan Bagi Jabar
Perkembangan ini memengaruhi penyusunan rencana pembangunan di Indonesia, di mana dibutuhkannya analisis memadai dan menjawab kompleksitas persoalan pembangunan bagi perempuan dan laki-laki, anak-anak perempuan maupun anak-anak laki-laki. Hal ini, misalnya tercermin dalam indikator di seluruh ukuran pembangunan. Sebagai contoh, Human Development Index (HDI) tidaklah cukup tanpa disertai Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM).
Itulah mengapa dalam pembangunan, pertanyaan tidak lagi melulu pada seberapa besar pembangunan infastruktur atau projek mega pembangunan, melainkan sejauh mana misalnya bidang-bidang pembangunan, mulai dari pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sungguh menjawab permasalahan mendasar masyarakat (termasuk perempuan dan anak). Inilah tantangan pembangunan saat ini. Dalam perkembangan ini, lahirlah Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, didasarkan pertimbangan untuk meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks otonomi daerah, terdapat perbedaan antara instansi dan lembaga pusat dan daerah. Hal ini lebih teknis diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan lebih lanjut, yaitu dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang memberi kewenangan daerah untuk mengatur sebaik mungkin organisasi perangkat daerahnya. Ini mengapa, hingga kini terdapat variasi terhadap upaya pemberdayaan perempuan dengan strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
Dalam konteks Jawa Barat, guna membentuk organisasi perangkat daerah yang tepat, langkah yang diperlukan adalah melakukan analisis gender terhadap persoalan pembangunan di Jawa Barat. Tak dapat dipungkiri, sejumlah data telah menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak di Jawa Barat sangat memprihatinkan, mulai dari angka kematian ibu yang tinggi, buta aksara perempuan, tingginya angka anak-anak menikah usia muda, putus sekolah, sulitnya mengakses layanan kesehatan murah, kekerasan, eksploitasi, hingga perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Inilah landasan yang penting. Sebab, dari sinilah dibentuk struktur organisasi serta program dan pendekatan yang berakar pada logika penegakan hak asasi serta niat tulus menjawab persoalan mendasar perempuan dan anak.
Dari analisis tersebut, menempatkan urusan perempuan dalam Bagian Pemberdayaan Perempuan Biro Pemberdayaan Masyarakat Sekretariat Daerah yang (apalagi) hanya membatasi diri dalam bidang Bina Organisasi Wanita dan Keluarga Berencana, jelas tidak mencerminkan upaya menjawab persoalan perempuan dan anak sebagai prioritas, serta pengarusutamaan gender sebagai strategi pembangunan.
Diperlukan satu badan yang berdaya lebih kuat dengan landasan berpikir kuat, terutama untuk memastikan pengarusutamaan gender dalam pembangunan Jawa Barat, yang menjawab ketersediaan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya, partisipasi, serta manfaat pembangunan. Dengan argumen dan bangunan tujuan yang komprehensif dan kuat, kita semua tahu ke mana dan bagaimana badan ini akan melangkah dan memberi manfaat bagi perempuan dan anak di provinsi yang kita cintai ini. Sebab, tentu saja kita pun tidak ingin badan ini kelak hanya “manis di bibir” semata.”***

Penulis, aktivis Perempuan, pendiri dan Executive of Board Institut Perempuan.
Tulisan ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2008

Diunduh dari http://www.institutperempuan.or.id/?p=103
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN BERBASIS PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL MELALUI PENDEKATAN SOSIAL ENTERPRENEURSHIP (STUDI DI DAERAH TERTINGGAL, KABUPATEN PASAMAN, SUMATERA BARAT)

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia terutama di perdesaan telah dilakukan melalui berbagai cara. Program pengentasan kemiskinan selama ini kurang memperhatikan peran perempuan miskin sebagai subjek tetapi hanya sebagai objek pengentasan kemiskinan. Langkah ini kurang memberikan hasil signifikan, kemudian muncul upaya pemberdayaan perempuan untuk pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dengan cara ini diharapkan mampu menekan kemiskinan di perdesaan mengingat jumlah rumah tangga miskin terus bertambah seiring melonjaknya harga kebutuhan pangan. Selama ini berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, melalui program pemberdayaan maupun penguatan ekonomi melalui berbagai macam bentuk usaha. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap produktivitas serta berbagai jenis usaha untuk meningkatkan perkonomian.
Salah satunya melalui pendekatan Social Entrepreneurship akhir-akhir ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Namun di Indonesia sendiri kegiatan ini masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para tokoh masyarakat karena memang belum ada keberhasilan yang menonjol secara nasional. Dengan demikian, pentingnya pemberdayaan keluarga khususnya perempuan miskin dalam meningkatkan produkstivitas, serta penguatan ekonomi menjadi penting untuk mendorong pemanfaatan sumber daya lokal, dengan pengembangan sosial enterpreneurship.
Penelitian yang dilaksanakan di di Kabupaten Pasaman ditentukan satu nagari  yaitu   Nagari Taruang-Taruang, yang terletak di Kecamatan Rao, dengan alasan bahwa di nagari ini telah dilakukan penelitian awal tentang masalah,  kebutuhan serta potensi dan sumber-sumber yang tersedia. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang diawali dengan tahap persiapan, pelaksanaan pemberdayaan, monitoring dan evaluasi, dan pelaporan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan pengurusan izin penelitian, penyiapan rancangan dan instrumen penelitian, dan kegiatan penjajakan ke lokasi penelitian dalam rangka penyiapan sasaran pemberdayaan, mapping kebutuhan,  potensi dan sumber-sumber yang tersedia. Pada tahap pelaksanaan pemberdayaan, kegiatan yang dilakukan antara lain analisis kebutuhan,potensi, penyususnan rencana aksi secara bersama, pembentukan kelompok kerja, intervensi dari instansi terkait dan implementasi rencana aksi oleh Pokja. Setelah kegiatan pemberdayaan dilaksanakan evaluasi baik terhadap proses pelaksanaan maupun hasil yang dicapai Pokja. Terakhir peneliti melakukan kegiatan penyusunan laporan, seminar dan pencetakan buku serta  penyebarluasan karya tulis pada jurnal nasional maupun internasional. Secara umum Produk target yang ingin dicapai dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1) Output : Konsep Model Pemberdayaan Perempuan Berbasiskan Sumberdaya Lokal melalui Sosial Enterpreunership yang dapat diimlementasikan. 2) Outcome, Peningkatan Kapasitas Perempuan di bidang sosial ekonomi yang meliputi pelaksanaan perannya perempuan sebagai pengasuh, pendidik anak dan pencari nafkah. Indikator hasilnya dapat dilihat dari , peningkatan pengetahuan tentang pengasuhan dan pendidikan anak, peningkatan pengetahuan tentang, penggalian sumber daya lokal, pengembangan jaringan dan usaha ekonomis produktif, dan peningkatan keterampilan dalam kewirausaan. 3) Dampak : Adanya peningkatan produktifitas perempuan yang dapat diukur dari: peningkatan pendapatan keluarga, jumlah perempuan yang melaksanakan usaha ekonomis produktif yang berbasiskan sumberdaya lokal meningkatserta jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan atau sebagai agen perubahan bagi masyarakat lingkungannya meningkat. 4) Impact atau Pengaruhnya Percepatan penanggulangan kemiskinan dapat diukur dari menurunnya persentase penduduk miskin.


Sumber  : http://pkpp.ristek.go.id/index.php/penelitian/detail/817

Pentingnya Pengertian Kesetaraan Gender pada Anak

SINDO
Selasa, 23 November 2010 14:06 wib
detail berita
Bermain bersama (Foto: Google)
PENGAJARAN anak terkait kesetaraan gender harus diberikan sejak dini. Kalau tidak, mereka kemungkinan akan melakukan diskriminasi.

Orangtua dan guru bisa berkontribusi dalam hal ini. utama dalam mengajarkan, membimbing, dan memberikan pengetahuan soal gender pada anak. Namun, tak kalah penting adalah peran seorang guru yang sangat strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender. Hal itu agar ketika mereka beranjak dewasa bisa responsif terhadap diskriminasi gender. Ketika sekali saja guru di sekolah menyentuh persoalan gender, anak-anak akan terus mengingatnya, hingga usia dewasa.

Sebuah studi baru menemukan fakta bahwa jika di dalam kelas di mana anak laki-laki dan perempuan kelasnya dibuat terpisah dan bahkan dalam sapaan pun dibedakan, seperti “Selamat pagi anak laki-laki dan anak perempuan”. Pada anak-anak akan tertanam jiwa stereotip tentang gender dan bahkan melakukan perilaku diskriminasi terutama ketika memutuskan siapa yang harus bermain dengan dirinya.

”Anak-anak di dalam kelas nantinya akan menyatakan kurang berminat bermain dengan anakanak dari jenis kelamin yang berbeda,” kata psikolog perkembangan Lynn Liben dari Pennsylvania State University, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian bersama mahasiswa pascasarjana di universitas yang sama, Lacey Hilliard seperti dikutip laman livescience. com.

”Tidak hanya terjadi di survei, tapi kami juga mengamati anakanak yang sedang bermain di lingkungan sekitar. Terdapat penurunan jumlah yang signifikan di ruang-ruang kelas di mana seorang anak bermain dengan anak dari jenis kelamin lainnya,” lanjut Liben. Dalam studi ini, para peneliti membandingkan 57 orang anak-anak prasekolah.

Setengah dari mereka berada di ruang kelas di mana guru menahan diri untuk tidak membuat pembagian grup berdasarkan jenis kelamin. Di bagian lain dari ruang kelas, guru diminta untuk menggunakan bahasa gender dan menyoroti dua kategori gender. Misalnya, ada dua papan tulis yang berbeda, satu untuk anak laki-laki dan yang lainnya untuk anak perempuan untuk mencatat hasil belajar mereka.

Meskipun begitu, di kelas tersebut para guru tidak boleh mengekspresikan stereotip tentang perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Selain itu, juga tidak boleh mendukung persaingan atau perbandingan antara keduanya. Hasilnya, hanya memperlihatkan fakta gender saja anak-anak telah mengerti soal stereotip, seperti anak perempuan hanya boleh bermain dengan boneka bayi atau menjadi penari, sedangkan anak laki-laki seharusnya bermain dengan peralatan dan menjadi petugas pemadam kebakaran.

Penelitian sebelumnya sebenarnya telah mengungkapkan bahwa stereotip gender sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Misalnya, apa yang anak pikir baik berdasarkan jenis kelaminnya dan apa profesi yang mereka kejar saat dewasa. Temuan studi baru ini menunjukkan, 37 persen anak-anak dari guru yang tidak berbicara tentang gender memilih bermain dengan kelompok yang termasuk di dalamnya anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

Sementara di kelas di mana guru sangat memperhatikan jenis kelamin, hanya 13 persen di antaranya yang memilih untuk bermain dengan kelompok yang termasuk anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

”Sejauh yang kami temukan bahwa hanya kelas di sekolah yang kami teliti ini yang menunjukkan sikap stereotip, yang kemungkinan memiliki beberapa dampak jangka panjang seperti garis hidup saat mereka dewasa, seperti pilihan pendidikan dan pekerjaan,” kata Liben.

Karena anak-anak cenderung untuk belajar bagaimana menjadi ”anak laki-laki yang biasanya”dan ”anak perempuan yang biasanya” melalui bersosialisasi dengan sahabat mereka, maka tidak heran semakin sedikit anak bermain dengan temannya dari jenis kelamin yang berbeda. Karena itu, semakin perbedaan gender dibesar-besarkan terkait teman bermain, maka kelompok anak ini akan semakin terpisah.

Liben mengatakan, penelitian mendukung gagasan bahwa sekolah campur kemungkinan memiliki dampak yang lebih baik untuk anak-anak dalam jangka panjang pertumbuhannya dibanding sekolah yang hanya menerima satu jenis kelamin, yang tentu dapat melestarikan stereotip berpikir tentang gender. Guru juga harus menyadari jikalau bahasa yang digunakan akan memengaruhi kehidupan dan tingkah laku anak-anak.

”Salah satu implikasi dari masalah ini adalah bahwa struktur di dalam kelas itu benar-benar penting,” ujar Liben.

”Saya rasa ini mungkin lebih masuk akal untuk ‘anak’ menggunakan bahasa dan bahasa ‘teman’, bukan ‘anak lakilaki’ dan ‘anak perempuan’,” lanjutnya. Banyak pihak mungkin tidak menyadari bahwa bahasa gender seperti itu akan merusak jiwa anak.

Tetapi, kata Liben, efek yang sama berbahaya akan terjadi ketika anak-anak dipisahkan berdasarkan ras di kelas. “Jangan sampai Anda memanggilnya dengan ‘selamat pagi anak kulit putih dan anak kulit hitam’. Anda tidak akan pernah mengatakan atau memiliki garis terpisah antara si putih dan si hitam,” tegasnya.

Studi ini secara lengkap dicetak pada edisi November/ Desember jurnal Child Development.

Sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2010/11/23/196/396080/pentingnya-pengertian-kesetaraan-gender-pada-anak

Selasa, 01 Mei 2012

Eksistensi Perempuan di Pembangunan

SEMANGAT juang RA Kartini dalam mengangkat derajat kaum perempuan senantiasa mengakar di dalam sanubari perempuan Indondesia. Dengan semangat emansipasi wanita, perempuan masa kini juga dapat berperan aktif dalam mengisi Pembangunan baik itu pembangunan fisik maupun fisik.
Wanita merupakan tiang negara, jika wanita di suatu negara mumpuni, maka jayalah negara tersebut. Wanita sebagai ujung tombak dalam membentuk karakter bangsa. Membatasi perempuan dalam berkiprah di luar lingkup domestik tugas perempuan merupakan suatu bentuk kebodohan terhadap perempuan.
Setiap insan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal menuntut ilmu serta berperan aktif dalam setiap lini pembangunan baik itu sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya tentunya juga tidak melanggar aturan-aturan serta norma-norma yang berlaku.
Dr Maya Suryanti satu dari ratusan ribu kaum perempuan yang ada di Tanjungpinang yang juga turut berperan aktif dalam memberikan sumbangsih bagi pembangunan di Kota Gurindam. Baik itu pembangunan fisik maupun non fisik khususnya program-program yang diperuntukkan bagi kaum perempuan.
Beberapa program dan kegiatan diselenggarakan oleh dr Maya Suryanti dalam memberikan sumbangsih bagi masyarakat Kota Tanjungpinang. Dalam memotivasi semangat berwirausaha di kalangan ibu-ibu PKK dan Majelis Taqlim di Kota Tanjungpinang, dr Maya juga turut memberikan dukungan untuk pengembangan usaha yang mereka jalani khususnya ekonomi mikro.
Ini merupakan salah satu wujud kepedulian dr Maya terhadap usaha ekonomi mikro agar dapat lebih berkembang sehingga dapat meningkatkan ekonomi rakyat kecil, dan juga untuk menyebarluaskan semangat “demam wirausaha” di kalangan masyarakat.
”Dalam menjalankan suatu usaha kita harus menanamkan semangat entrepreneurship yaitu semangat pantang menyerah dan terus melakukan inovasi dalam menumbuhkembangkan usaha yang sedang dijalani. Sehingga dapat mendongkrak perekonomian di Kota Tanjungpinang,” kata dr Maya di sela-sela kunjungannya di beberapa PKK dan Majelis Taqlim di Kota Tanjungpinang.
Selanjutnya dalam bidang kesehatan, dr Maya memberikan pelayananan kesehatan gratis kepada masyarakat Ko ta Tanjungpinang yang diselenggarakan keliling di wilayah Kota Tanjungpinang. Baginya kesehatan masyarakat adalah tujuan utama, apabila tubuh sehat maka kita dapat menjalankan aktivitas yang kita jalankan sehari-hari. Dalam bidang pendidikan dr Maya menyediakan pelayanan Perpustakaan Keliling bagi anak-anak usia dini, tujuannya untuk menumbuhkan semangat minat baca bagi anak, dengan membaca kita dapat menggenggam dunia dan dapat mencerdaskan anak bangsa.
 

Foto proses pemberdayaan perempuan





Selasa, 24 April 2012

. Pengertian Pemberdayaan Pendidikan Perempuan
Realitas ketidakadilan bagi kaum perempuan mulai dari marginalisasi, makhluk Tuhan nomor dua, separoh harga laki laki, sebagai pembantu, tergantung pada laki laki, dan bahkan sering diperlakukan dengan kasar atau setengah budak. Seakan memposisikan perempuan sebagai kelompok mesyrakat kelas dua, yang berimbas pada berkurangnya hak-hak perempuan termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan.
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan adalah pemberdayaan pendidikan perempuan. Konsep pemberdayaan pendidikan ini sangat penting karena memberikan perspektif positif terhadap perempuan. Sehingga perempuan dalam menggapai realitas hidup tidak dipandang sebagai makhluk yang serba kekurangan.
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” yang artinya keberdayaan atau kekuasaan. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana seseorang, rakyat, organisasi. dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap kejadian kejadian serta lembaga lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.
Jadi pernberdayaan pendidikan perempuan adalah suatu cara dan proses meningkatkan pendidikan perempuan dengan harapan agar mampu menguasai kehidupannya. Tujuan pemberdayaan adalah untuk meningkatkan kekuasaan perempuan yang dalam realitas kehidupan sampai sekarang mengalami nasib tidak beruntung. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial.
Pemberdayaan pendidikan perempuan menekankan pada aspek ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya, Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan, khususnya kelompok lemah agar memiliki akses terhadap sumber¬sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan¬keputusan yang mempengaruhi mereka.
Mengingat bahwa pendidikan merupakan persoaalan yang sangat penting dan mendasar dalam pamberdayaan perempuan, maka merupakan sebuah keharusan bahwa pemberdayaan terhadap pendidikan perempuanpun juga dilakukan sebagai prasyarat terhadap pemberdayaan perempuan itu sendiri.
Adapun pemberdayaan terhadap pendidikan perempuan adalah suatu cara atau upaya dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan pendidikan bagi kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan cara:
1. Memberikan kesempatan seluas-luasnya terhadap kaum perempuan untuk bisa mengikuti atau menempuh pendidikan seluas mungkin. Hal ini diperlukan mengingat masih menguatnya paradigma masyarakat bahwa setinggi-tinggi pendidikan perempuan toh nantinya akan kembali ke dapur. Inilah yang mengakibatkan masih rendahnya (sebagian besar) pendidikan perempuan.
2. Melakukan kampanye dan memberikan penyadaran kepada kaum perempuan akan pentingnya pendidikan dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Untuk meminimalisir pelecehan-pelehan atau ketidak adilan yang dialami oleh perempuan, maka sangat dimungkinkan sosialisasi dan penyadaran akan pentingnya pendidikan menjadi suatu keniscayaan.
3. Melakukan penelitian terhadap partisipasi masyarakat khususnya kaum perempuan dalam pemberdayaan dan peningkatan pendidikan bagi perempuan. Kegiatan ini sangat urgen, karena ini akan menjadi landasan dasar bagi siapa saja yang mengkampanyekan gerakan gender. Fakta ini menjadi tolok ukur untuk menetukan orientasi pergerakan gender. Kalau di suatu tempat, tingkat pendidikan perempuan sangat minim, maka berbagai kegiatan dapat disusun guna menutupi kekurangan itu.
4. Menyiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap segala kendala dan hambatan yang akan dihadapi dalam proses pemberdayaan terhadap pendidikan perempuan. Hal ini perlu dilakukan karena tidak sedikit fakta dilapangan yang ditemui, berbeda dengan harapan. Sehingga kalau sudah ada persiapan yang matang tentang antisipasi kendala yang akan ditemui, dapat dikatakan aktivitas apapun akan berjalan dengan lancer.
3. Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Pendidikan Perempuan
Pembangunan pemberdayaan pendidikan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya pemberdayaan perempuan menuju kualitas hidup dan mitra kesejajaran laki laki dan perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang atau sektor. Keberhasilan pembangunan pemberdayaan pendidikan perempuan menjadi cita-cita semua orang. Namun untuk mengetahui keberhasilan sebagai sebuah proses, dapat dilihat dari indikator pencapaian keberhasilannya. Adapun indikator-indikator pemberdayaan pendidikan perernpuan adalah sebagai berikut:
1. Adanya wahana dan sarana yang memadai serta aturan perundang-undangan yang mendukung terhadap perempuan untuk menempuh pendidikan semaksimal mungkin.
2. Adanya peningkatan partisipasi dan semangat kaum perempuan untuk berusaha memperoleh dan mendapatkan pendidikan dan pengajaran bagi diri mereka.
3. Meningkatnya jumlah prosentase perempuan dalam lembaga-lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi.
4. Peningkatan keterlibatan aktifis perempuan dalam kampanye pemberdayaan pendidikan terhadap perempuan.
Namun lebih dari itu semua adalah terciptanya pola pikir dan paradigma yang egaliter. Perempuan juga harus dapat berperan aktif dalam beberapa kegiatan yang memang proporsinya. Kalau ini telah terealisir, maka pendidikan perempuan benar-benar telah terberdayakan.
4. Peran Pendidikan Dalam Pemberdayaan Perempuan
Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan sehingga mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, khususnya peran perempuan sebagai bagian dari pelaku pembangunan, maka perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan potensi perempuan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Pembangunan pemberdayaan perempuan dilakukan untuk menunjang dan mempercepat tercapainya kualitas hidup perempuan, dapat dilakukan melalui kegiatan sosialisasi atau advokasi pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan bagi kaum perempuan yang bergerak dalam seluruh bidang kehidupan.
Pendidikan merupakan hak setiap individu, kaya miskin, lemah kuat, pandai bodoh, laki laki maupun perempuan. Oleh karena itu pendidikan adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi semua tanpa memandang latar belakang. Salah satu penyebab penindasan, peminggiran, subordinasi, bahkan perlakuan kasar terhadap perempuan adalah kemiskinan pendidikan yang dialami oleh kaum perempuan. Lebih dari itu pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan fasilitas yang layak dan maksimal dalam pendidikan ini. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang 1945 yaitu Negara ikut terlibat dalam mencerdeskan kehidupan bangsa.
Dalam agama Islam sendiri diajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan pada hakekatnya sama dalam hak untuk memperoleh pendidikan.
Dalam Al Quran Surat Al Alaq Allah SWT. Berfirman:
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Dari ayat al Qur’an tersebut di atas dapat dipahami bahwa Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang manusia. Kata manusia di sini menunjukkan universalitas dan tidak terpaku pada golongan manusia tertentu, baik laki-laki atau perempuan.
Kuantitas pendidikan yang diterima perempuan sangat minim, sehingga tidak kaget kalau dua pertiga dari penduduk dunia yang buta huruf adalah perempuan. Anak anak perempuan mendapatkan pendidikan ala kadarnya atau bahkan tidak sama sekali, memang sangat berat menghadapi dunia, mereka tidak memiliki sumber daya yang memungkinkan secara efektif mengatasi kemiskinannya, kecuali hanya ratapan kesedihan. Tanpa pendidikan mereka, perempuan bukan apa apa.
Meskipun pendidikan yang ditawarkan kepada anak perempuan dianggap “pedang bermata dua”, yakni pendidikan yang berguna untuk menjaga dirinva sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhannya sendiri, serta pendidikan yang bermanfaat bagi keluarga (sebagai ibu rumah tangga). Oleh karena itu, pendidikan bagi pernberdayaan itu sebagai sesuatu memperkuat dan mempertinggi perasaan mereka tentang kekurangan sebagai perempuan, kalau perempuan memang enggan untuk diposisikan sebagai manusia nomor dua setelah laki laki, sehingga keberadaannya tidak dianggap sebagai pelayan atas kebutuhan laki laki.
Salah satu bagaian dari Hak Asasi Manusi yang dimiliki manusia sejak lahir, dimanapun dan dalam waktu apapun, harus diberikan bahkan tidak boleh dihalang halangi adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Dalam UUD 1945, pasal 31, dijelaskan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran (pendidikan) yang layak.
Dalam Islam dianjurkan menegakkan persamaan di bidang hukum dan pendidikan. Antara laki laki dan perempuan harus mendapatkan hak atas pendidikan tanpa harus mengalami diskriminasi. Melalui pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan, baik ilmu keagamaan maupun kemasyarakatan, manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai khalifah fil ardl.
Pendidikan harus diarahkan pada perkembangan penuh kepribadian, kompetensi, skill, ketrampilan serta pengokohan rasa hormat terhadap Hak Asasi Manusia dan prinsip prinsip kebebasan. Setiap orang, baik laki laki maupun perempuan berhak untuk bebas berpartisipasi di dalarn kehidupan kebudayaan masyarakat dan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan menikmati manfaatnya. Selain itu, pendidikan juga sangat berarti terutama bagi pemberdayaan perempuan. Melalui pendidikan, perempuan dapat meningkatkan kualitas hidupnya, mempunyai kemampuan dan keamanan, guna kemandirian, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalarn hal pendidikan, ada tiga jenis pendidikan yang wajib ditempuh oleh perempuan:
1. Pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pribadinya.
2. Pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya.
3. Pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.
Meskipun gerakan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan perempuan mulai diberdayakan. tetapi masih ada hambatan hambatan yang berupa asumsi negatif tentang tabi’at perempuan. Salah satu diantaranya adalah, asumsi yang berasal dari teks teks keagamaan yang ditafsirkan secara tekstual dan konservatif, tanpa memandang kultur sosiologis yang berkembang. Seperti, bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah akal dan agamanya lemah. Padahal asumsi ini terpengaruh oleh kondisi sosial perempuan Arab pada waktu itu.
Oleh karena itu, pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks sekarang sangat urgen, bahkan menjadi kewajiban, karena kepribadian umat dan bangsa ditentukan anak anaknya. Maka, pendidikan pada kaum perempuan dimulai dari proses pendidikan mental, demokrasi dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna.
Perlu diketahui, bahwa harapan harapan tersebut di atas, akan sulit terkabul, kecuali melalui uluran uluran tangan dan nurani ibu ibu pendidik, serta pemerhati nasib perempuan yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Belum pernah terpikirkan oleh kita, bagaimana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan tangguh, jika kaum ibu saja masih terbelakang tanpa pendidikan.


http://rudien87.wordpress.com/2010/04/28/konsep-pemberdayaan-pendidikan-perempuan/