Kamis, 07 Juni 2012

Memerdekakan kaum perempuan

Memerdekakan Kaum Perempuan PDF Print
Monday, 16 August 2010
Bagi perempuan, peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini berlangsung di tengah keprihatinan. Beberapa minggu belakangan ini terjadi berbagai peristiwa memilukan yang menimpa sebagian perempuan di negeri yang telah merdeka 65 tahun silam ini.

Selasa (10/8) lalu,di Yogyakarta, Khoir Umi Latifah (25) tewas membakar diri karena menanggung beban berat keluarga. Dia tidak sendirian, tetapi juga mengajak kedua buah hatinya yang masih balita. Sebelumnya, Kamis (5/8), seorang ibu di Tasikmalaya bernama Kokoy (43) mencoba bunuh diri bersama anaknya dengan menabrakkan diri pada kendaraan yang lewat di jalan raya.

Masih banyak kisah miris lainnya di sekeliling kita. Dalam berbagai hal lain, perempuan juga menjadi korban langsung berbagai peristiwa memilukan. Dalam peristiwa ledakan tabung gas elpiji yang terjadi akhirakhir ini,misalnya,ratusan perempuan menjadi korban.Bahkan,puluhan di antara mereka tewas oleh “bom dapur” itu.

Demikian juga penggusuran rumah yang terjadi di berbagai daerah, perempuan merupakan korban yang paling mendapat dampak terberat.Yang mutakhir, dengan melambungnya harga bahan pokok akhir-akhir ini, perempuan juga yang paling merasakan dampaknya. Lagi-lagi, masalah-masalah itu adalah akibat dari kemiskinan dan gagalnya negara dalam melindungi dan menyejahterakan warga negaranya. Pada usia ke-65 kemerdekaan, ternyata banyak perempuan di negeri ini belum merdeka akibat belenggu kemiskinan.

Ketertinggalan Perempuan

Memang, perempuan menjadi korban kemiskinan yang paling besar.Menurut data PBB,dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70% dari mereka adalah perempuan. Demikian juga di Indonesia, dari jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2010 yang mencapai 32,53 juta jiwa (14,15%), 70% dari mereka adalah perempuan. Jika ditelisik,kemiskinan yang menimpa perempuan Indonesia terjadi karena banyak dimensi.

Sebut saja misalnya posisi tawar yang lemah di dalam masyarakat, kultur yang represif, miskin akibat bencana dan konflik, diskriminasi di ruang publik dan domestik. Bahkan ketidakpedulian negara dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat guna mengentaskan perempuan dari kubangan kemiskinan ikut berandil.Tak mengherankan jika Human Development Report (HDR) menunjukkan bahwa pembangunan gender di Indonesia amat rendah,yaitu di peringkat ke-90 di dunia.

Hampir tak ada yang menyanggah bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat yang sangat penting karena mereka berhubungan sangat erat dengan upaya pewujudan kesejahteraan.Namun hingga kini perempuan masih tertinggal dalam berbagai bidang kehidupan. Disparitas antara lakilaki dan perempuan terjadi di hampir semua lini. Di bidang pendidikan,sebanyak 11,56% perempuan belum mengenyam pendidikan, sedangkan lakilaki yang belum mengenyam pendidikan hanya 5,43%.

Angka buta aksara perempuan sebesar 12,28%, sedangkan laki-laki 5,84%.Dalam bidang kesehatan,status gizi perempuan masih merupakan masalah utama.Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup.Di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki jauh lebih tinggi (86,5%) daripada perempuan (50,2%). Dalam ranah birokrasi, dari 3.741.495 orang, sebanyak 1.550.024 (41,43%) adalah perempuan.

Angka itu memang terlihat cukup tinggi, tetapi karier perempuan dalam birokrasi belum mendapatkan ruang yang adil.Lihat saja,dari pejabat eselon 1 yang berjumlah 645 orang, perempuan hanya 63 orang (9,7%).Adapun pada jabatan eselon II yang berjumlah 11.255, jumlah perempuannya baru 755 (6,71%). Dalam sektor publik lainnya, keberadaan perempuan juga masih sangat terbatas.

Di bidang politik,keterwakilan perempuan di DPR sebesar 101 anggota DPR perempuan atau 18,04% dari 560 anggota DPR periode 2009–2014. Adapun untuk keterwakilan perempuan di DPD,dari total 132 calon anggota DPD, sebesar 17,48% (36 orang) adalah perempuan. Meski meningkat dibandingkan hasil pemilu sebelumnya, angka itu belum memenuhi kuota 30% seperti yang ditargetkan.

Hal ini terjadi karena budaya dan praktik politik di negeri ini belum memberikan kesempatan secara memadai bagi perempuan untuk berkarier dalam dunia politik. Potret nyata kondisi perempuan di atas masih dipersuram dengan berbagai pelanggaran hak dan kejahatan terhadap perempuan. Data kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam, dari 25.522 kasus (2007) menjadi 54.425 kasus (2008) dan dari data tahun 2009–2010, jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 143.586 kasus.Angka ini meningkat sebesar 263% dibandingkan tahun sebelumnya.Dari jumlah kasus tersebut,sebagian besar (82%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Angka kejahatan trafficking juga masih tinggi. Setiap tahun lebih dari 100.000 anak dan perempuan diperdagangkan dan dilacurkan.

Memerdekakan Perempuan

Realitas kondisi perempuan di atas menunjukkan masih muramnya kehidupan perempuan di negara kita. Fakta-fakta tentang kemiskinan, ketertinggalan, dan kekerasan terhadap perempuan di atas mestinya harus dijadikan sebagai bahan refleksi dalam memperingati kemerdekaan Indonesia kali ini.Dengan kata lain,peringatan kemerdekaan tahun ini merupakan momen tepat untuk mengupayakan kemerdekaan yang sejati bagi perempuan.

Sudah saatnya dilakukan reorientasi pembangunan nasional yang lebih pro perempuan dan berkeadilan gender. Sebagaimana kita ketahui, pembangunan di Indonesia belum berlangsung optimal karena memberikan manfaat secara timpang atas kesejahteraan terhadap perempuan. Pengarusutamaan gender dalam program pembangunan nasional belum secara memadai terimplementasi dalam kebijakan pembangunan yang riil.

Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan, keterbelakangan ekonomi dan minimnya akses kesehatan terhadap perempuan merupakan bukti yang tak terbantahkan.Keadaan tersebut akhirnya menghadirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Mengingat persoalan kemiskinan perempuan merupakan persoalan yang kompleks dan tidak berdiri sendiri, penanganannya juga harus dilakukan secara integral dan menyeluruh pada semua level.

Pada level struktural, perumusan kebijakan dan strategi pembangunan harus seoptimal mungkin properempuan dan berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender. Di bidang ekonomi, kebijakan pembangunan ekonomi harus membuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk mengakses permodalan usaha kecil. Sudah saatnya pemerintah melakukan perluasan skema kredit bagi pengembangan usaha perempuan.

Demikian juga di bidang pendidikan, kebijakan wajib pendidikan 9 tahun harus disertai dengan konsistensi untuk membiayai anak-anak bangsa agar tidak lagi ada anak yang putus sekolah.Anggaran pendidikan 20% dari APBN/ APBD harus seoptimal mungkin dipergunakan untuk menjamin pendidikan generasi bangsa. Dalam bidang kesehatan,pemerintah harus serius dalam menurunkan AKI, yaitu dengan kebijakan terobosan seperti merevitalisasi posyandu,memberikan pelayanan persalinan di puskesmas dengan standar yang memadai, serta meningkatkan mutu dan akses pelayanan kesehatan bagi perempuan di semua daerah.

Di bidang politik,sistem politik juga seharusnya memberikan kesempatan yang luas dan afirmasi bagi perempuan untuk berkiprah dalam dunia politik. Demikian juga partai politik semestinya memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada para perempuan untuk berkiprah dan meniti karier politiknya. Hal ini karena keterlibatan perempuan dalam politik menjadi salah satu strategi untuk mendorong kebijakan publik yang properempuan.

Di samping itu, pemerdekaan perempuan juga harus dilakukan dengan penegakan hukum. Berkenaan dengan semakin meningkatnya kejahatan terhadap perempuan, baik trafficking,KDRT maupun bentuk-bentuk kekerasan lain, para penegak hukum diharapkan lebih tegas melakukan tindakan hukum.

Terkhusus untuk kasuskasus kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang terus meningkat,pemerintah seharusnya menjalin kerja sama penegakan hukum dengan berbagai negara sasaran tenaga kerja Indonesia (TKI) secara lebih intensif dan berkelanjutan. Tidak cukup di situ, upaya pemerdekaan perempuan juga harus dilakukan pada level kultural.

Meskipun pengarusutamaan gender telah menjadi program nasional, upaya penyetaraan perempuan masih menghadapi tantangan budaya, berupa konstruksi sosial masyarakat terhadap peran dan keberadaan perempuan. Bagi banyak masyarakat, perempuan masih dipandang sebagai warga kelas dua yang cukup berperan pada wilayah domestik.

Tentu,seluruh upaya untuk memerdekakan perempuan dari berbagai soal yang membelit tersebut bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah. Semua elemen masyarakat negeri ini harus mengambil bagian dalam penyelesaian berbagai soal di atas.Untuk itu,keterlibatan organisasi dan NGO yang concernpada isu-isu pemberdayaan perempuan harus direvitalisasi. Kerja sama dan kemitraan strategis antara pemerintah dan civil society menjadi kunci keberhasilan dalam memerdekakan kaum perempuan Indonesia.(*)

Dra Hj Ida Fauziyah
Ketua Umum PP Fatayat NU                   

Diambil dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345036/