Selasa, 08 Mei 2012

Pentingnya Pengertian Kesetaraan Gender pada Anak

SINDO
Selasa, 23 November 2010 14:06 wib
detail berita
Bermain bersama (Foto: Google)
PENGAJARAN anak terkait kesetaraan gender harus diberikan sejak dini. Kalau tidak, mereka kemungkinan akan melakukan diskriminasi.

Orangtua dan guru bisa berkontribusi dalam hal ini. utama dalam mengajarkan, membimbing, dan memberikan pengetahuan soal gender pada anak. Namun, tak kalah penting adalah peran seorang guru yang sangat strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender. Hal itu agar ketika mereka beranjak dewasa bisa responsif terhadap diskriminasi gender. Ketika sekali saja guru di sekolah menyentuh persoalan gender, anak-anak akan terus mengingatnya, hingga usia dewasa.

Sebuah studi baru menemukan fakta bahwa jika di dalam kelas di mana anak laki-laki dan perempuan kelasnya dibuat terpisah dan bahkan dalam sapaan pun dibedakan, seperti “Selamat pagi anak laki-laki dan anak perempuan”. Pada anak-anak akan tertanam jiwa stereotip tentang gender dan bahkan melakukan perilaku diskriminasi terutama ketika memutuskan siapa yang harus bermain dengan dirinya.

”Anak-anak di dalam kelas nantinya akan menyatakan kurang berminat bermain dengan anakanak dari jenis kelamin yang berbeda,” kata psikolog perkembangan Lynn Liben dari Pennsylvania State University, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian bersama mahasiswa pascasarjana di universitas yang sama, Lacey Hilliard seperti dikutip laman livescience. com.

”Tidak hanya terjadi di survei, tapi kami juga mengamati anakanak yang sedang bermain di lingkungan sekitar. Terdapat penurunan jumlah yang signifikan di ruang-ruang kelas di mana seorang anak bermain dengan anak dari jenis kelamin lainnya,” lanjut Liben. Dalam studi ini, para peneliti membandingkan 57 orang anak-anak prasekolah.

Setengah dari mereka berada di ruang kelas di mana guru menahan diri untuk tidak membuat pembagian grup berdasarkan jenis kelamin. Di bagian lain dari ruang kelas, guru diminta untuk menggunakan bahasa gender dan menyoroti dua kategori gender. Misalnya, ada dua papan tulis yang berbeda, satu untuk anak laki-laki dan yang lainnya untuk anak perempuan untuk mencatat hasil belajar mereka.

Meskipun begitu, di kelas tersebut para guru tidak boleh mengekspresikan stereotip tentang perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Selain itu, juga tidak boleh mendukung persaingan atau perbandingan antara keduanya. Hasilnya, hanya memperlihatkan fakta gender saja anak-anak telah mengerti soal stereotip, seperti anak perempuan hanya boleh bermain dengan boneka bayi atau menjadi penari, sedangkan anak laki-laki seharusnya bermain dengan peralatan dan menjadi petugas pemadam kebakaran.

Penelitian sebelumnya sebenarnya telah mengungkapkan bahwa stereotip gender sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Misalnya, apa yang anak pikir baik berdasarkan jenis kelaminnya dan apa profesi yang mereka kejar saat dewasa. Temuan studi baru ini menunjukkan, 37 persen anak-anak dari guru yang tidak berbicara tentang gender memilih bermain dengan kelompok yang termasuk di dalamnya anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

Sementara di kelas di mana guru sangat memperhatikan jenis kelamin, hanya 13 persen di antaranya yang memilih untuk bermain dengan kelompok yang termasuk anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

”Sejauh yang kami temukan bahwa hanya kelas di sekolah yang kami teliti ini yang menunjukkan sikap stereotip, yang kemungkinan memiliki beberapa dampak jangka panjang seperti garis hidup saat mereka dewasa, seperti pilihan pendidikan dan pekerjaan,” kata Liben.

Karena anak-anak cenderung untuk belajar bagaimana menjadi ”anak laki-laki yang biasanya”dan ”anak perempuan yang biasanya” melalui bersosialisasi dengan sahabat mereka, maka tidak heran semakin sedikit anak bermain dengan temannya dari jenis kelamin yang berbeda. Karena itu, semakin perbedaan gender dibesar-besarkan terkait teman bermain, maka kelompok anak ini akan semakin terpisah.

Liben mengatakan, penelitian mendukung gagasan bahwa sekolah campur kemungkinan memiliki dampak yang lebih baik untuk anak-anak dalam jangka panjang pertumbuhannya dibanding sekolah yang hanya menerima satu jenis kelamin, yang tentu dapat melestarikan stereotip berpikir tentang gender. Guru juga harus menyadari jikalau bahasa yang digunakan akan memengaruhi kehidupan dan tingkah laku anak-anak.

”Salah satu implikasi dari masalah ini adalah bahwa struktur di dalam kelas itu benar-benar penting,” ujar Liben.

”Saya rasa ini mungkin lebih masuk akal untuk ‘anak’ menggunakan bahasa dan bahasa ‘teman’, bukan ‘anak lakilaki’ dan ‘anak perempuan’,” lanjutnya. Banyak pihak mungkin tidak menyadari bahwa bahasa gender seperti itu akan merusak jiwa anak.

Tetapi, kata Liben, efek yang sama berbahaya akan terjadi ketika anak-anak dipisahkan berdasarkan ras di kelas. “Jangan sampai Anda memanggilnya dengan ‘selamat pagi anak kulit putih dan anak kulit hitam’. Anda tidak akan pernah mengatakan atau memiliki garis terpisah antara si putih dan si hitam,” tegasnya.

Studi ini secara lengkap dicetak pada edisi November/ Desember jurnal Child Development.

Sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2010/11/23/196/396080/pentingnya-pengertian-kesetaraan-gender-pada-anak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar