Selasa, 08 Mei 2012

Video Pemberdayaan Perempuan

Selamat menikmati....
From youtube.com,,,,

Masalah-masalah Pemberdayaan Perempuan

Terdapat sejumlah persoalan kritis untuk dipikirkan, terutama berkaitan dengan kenyataan bahwa dalam keempat raperda tersebut, masalah perempuan diletakkan sebagai bagian dari Biro Pemberdayaan Masyarakat di bawah kedudukan Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah. Bagian Pemberdayaan Perempuan Biro Pemberdayaan Masyarakat Sekretariat Daerah ini, akan membawahi dua bidang yaitu Bina Organisasi Wanita dan Keluarga Berencana.
Dalam kaitan dengan argumentasi kerangka hukum dan efektivitas pembentukan organisasi perangkat mengenai perempuan, diskusi ini merupakan kelanjutan tulisan saya sebelumnya, Pembangunan yang Responsif Gender (Pikiran Rakyat, 11/7).
Dalam sejarah langkah pemerintah terhadap masalah perempuan, terdapat beberapa perkembangan yang mesti dicermati. Pada masa Orde Baru, masalah perempuan dibatasi dalam kerangka “urusan peranan wanita”, yang erat dengan Darma Wanita, PKK, dan peranan dalam “keluarga”. Setelah reformasi bergulir, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Kementerian Urusan Peranan Wanita diubah menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Langkah ini, sejalan dengan paradigma pemberdayaan (empowerment) mendasarkan diri pada permasalahan (pengalaman) kongkret perempuan. Selain itu, pendekatan mengarah pada penegakan hak asasi perempuan dan anak, sejalan dengan komitmen pemerintah di antaranya dengan diratifikasi dan diundangkannya Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination against Women menjadi UU No. 7 Tahun 1984 serta Convention on the Rights of Child menjadi Keppres No. 36 Tahun 1990.
Sebagai satu alat, digunakanlah analisis gender menemukan langkah pemberdayaan strategis, untuk mengubah kondisi perempuan yang terpuruk menjadi lebih baik (keadilan dan kesetaraan gender). Sejalan dengan itu, dalam masyarakat internasional, terutama di negara-negara berkembang, terdapat perkembangan pemikiran dari “perempuan dalam pembangunan” (women in development), “perempuan dan pembangunan” (women and development) menjadi “gender dalam pembangunan” (gender and development).
Tantangan Bagi Jabar
Perkembangan ini memengaruhi penyusunan rencana pembangunan di Indonesia, di mana dibutuhkannya analisis memadai dan menjawab kompleksitas persoalan pembangunan bagi perempuan dan laki-laki, anak-anak perempuan maupun anak-anak laki-laki. Hal ini, misalnya tercermin dalam indikator di seluruh ukuran pembangunan. Sebagai contoh, Human Development Index (HDI) tidaklah cukup tanpa disertai Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM).
Itulah mengapa dalam pembangunan, pertanyaan tidak lagi melulu pada seberapa besar pembangunan infastruktur atau projek mega pembangunan, melainkan sejauh mana misalnya bidang-bidang pembangunan, mulai dari pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sungguh menjawab permasalahan mendasar masyarakat (termasuk perempuan dan anak). Inilah tantangan pembangunan saat ini. Dalam perkembangan ini, lahirlah Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, didasarkan pertimbangan untuk meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam konteks otonomi daerah, terdapat perbedaan antara instansi dan lembaga pusat dan daerah. Hal ini lebih teknis diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan lebih lanjut, yaitu dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, yang memberi kewenangan daerah untuk mengatur sebaik mungkin organisasi perangkat daerahnya. Ini mengapa, hingga kini terdapat variasi terhadap upaya pemberdayaan perempuan dengan strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
Dalam konteks Jawa Barat, guna membentuk organisasi perangkat daerah yang tepat, langkah yang diperlukan adalah melakukan analisis gender terhadap persoalan pembangunan di Jawa Barat. Tak dapat dipungkiri, sejumlah data telah menunjukkan bahwa permasalahan perempuan dan anak di Jawa Barat sangat memprihatinkan, mulai dari angka kematian ibu yang tinggi, buta aksara perempuan, tingginya angka anak-anak menikah usia muda, putus sekolah, sulitnya mengakses layanan kesehatan murah, kekerasan, eksploitasi, hingga perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Inilah landasan yang penting. Sebab, dari sinilah dibentuk struktur organisasi serta program dan pendekatan yang berakar pada logika penegakan hak asasi serta niat tulus menjawab persoalan mendasar perempuan dan anak.
Dari analisis tersebut, menempatkan urusan perempuan dalam Bagian Pemberdayaan Perempuan Biro Pemberdayaan Masyarakat Sekretariat Daerah yang (apalagi) hanya membatasi diri dalam bidang Bina Organisasi Wanita dan Keluarga Berencana, jelas tidak mencerminkan upaya menjawab persoalan perempuan dan anak sebagai prioritas, serta pengarusutamaan gender sebagai strategi pembangunan.
Diperlukan satu badan yang berdaya lebih kuat dengan landasan berpikir kuat, terutama untuk memastikan pengarusutamaan gender dalam pembangunan Jawa Barat, yang menjawab ketersediaan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya, partisipasi, serta manfaat pembangunan. Dengan argumen dan bangunan tujuan yang komprehensif dan kuat, kita semua tahu ke mana dan bagaimana badan ini akan melangkah dan memberi manfaat bagi perempuan dan anak di provinsi yang kita cintai ini. Sebab, tentu saja kita pun tidak ingin badan ini kelak hanya “manis di bibir” semata.”***

Penulis, aktivis Perempuan, pendiri dan Executive of Board Institut Perempuan.
Tulisan ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2008

Diunduh dari http://www.institutperempuan.or.id/?p=103
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MISKIN BERBASIS PEMANFAATAN SUMBER DAYA LOKAL MELALUI PENDEKATAN SOSIAL ENTERPRENEURSHIP (STUDI DI DAERAH TERTINGGAL, KABUPATEN PASAMAN, SUMATERA BARAT)

Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia terutama di perdesaan telah dilakukan melalui berbagai cara. Program pengentasan kemiskinan selama ini kurang memperhatikan peran perempuan miskin sebagai subjek tetapi hanya sebagai objek pengentasan kemiskinan. Langkah ini kurang memberikan hasil signifikan, kemudian muncul upaya pemberdayaan perempuan untuk pengentasan kemiskinan. Pengentasan kemiskinan dengan cara ini diharapkan mampu menekan kemiskinan di perdesaan mengingat jumlah rumah tangga miskin terus bertambah seiring melonjaknya harga kebutuhan pangan. Selama ini berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, melalui program pemberdayaan maupun penguatan ekonomi melalui berbagai macam bentuk usaha. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap produktivitas serta berbagai jenis usaha untuk meningkatkan perkonomian.
Salah satunya melalui pendekatan Social Entrepreneurship akhir-akhir ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr. Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Namun di Indonesia sendiri kegiatan ini masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para tokoh masyarakat karena memang belum ada keberhasilan yang menonjol secara nasional. Dengan demikian, pentingnya pemberdayaan keluarga khususnya perempuan miskin dalam meningkatkan produkstivitas, serta penguatan ekonomi menjadi penting untuk mendorong pemanfaatan sumber daya lokal, dengan pengembangan sosial enterpreneurship.
Penelitian yang dilaksanakan di di Kabupaten Pasaman ditentukan satu nagari  yaitu   Nagari Taruang-Taruang, yang terletak di Kecamatan Rao, dengan alasan bahwa di nagari ini telah dilakukan penelitian awal tentang masalah,  kebutuhan serta potensi dan sumber-sumber yang tersedia. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang diawali dengan tahap persiapan, pelaksanaan pemberdayaan, monitoring dan evaluasi, dan pelaporan. Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan pengurusan izin penelitian, penyiapan rancangan dan instrumen penelitian, dan kegiatan penjajakan ke lokasi penelitian dalam rangka penyiapan sasaran pemberdayaan, mapping kebutuhan,  potensi dan sumber-sumber yang tersedia. Pada tahap pelaksanaan pemberdayaan, kegiatan yang dilakukan antara lain analisis kebutuhan,potensi, penyususnan rencana aksi secara bersama, pembentukan kelompok kerja, intervensi dari instansi terkait dan implementasi rencana aksi oleh Pokja. Setelah kegiatan pemberdayaan dilaksanakan evaluasi baik terhadap proses pelaksanaan maupun hasil yang dicapai Pokja. Terakhir peneliti melakukan kegiatan penyusunan laporan, seminar dan pencetakan buku serta  penyebarluasan karya tulis pada jurnal nasional maupun internasional. Secara umum Produk target yang ingin dicapai dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: 1) Output : Konsep Model Pemberdayaan Perempuan Berbasiskan Sumberdaya Lokal melalui Sosial Enterpreunership yang dapat diimlementasikan. 2) Outcome, Peningkatan Kapasitas Perempuan di bidang sosial ekonomi yang meliputi pelaksanaan perannya perempuan sebagai pengasuh, pendidik anak dan pencari nafkah. Indikator hasilnya dapat dilihat dari , peningkatan pengetahuan tentang pengasuhan dan pendidikan anak, peningkatan pengetahuan tentang, penggalian sumber daya lokal, pengembangan jaringan dan usaha ekonomis produktif, dan peningkatan keterampilan dalam kewirausaan. 3) Dampak : Adanya peningkatan produktifitas perempuan yang dapat diukur dari: peningkatan pendapatan keluarga, jumlah perempuan yang melaksanakan usaha ekonomis produktif yang berbasiskan sumberdaya lokal meningkatserta jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan atau sebagai agen perubahan bagi masyarakat lingkungannya meningkat. 4) Impact atau Pengaruhnya Percepatan penanggulangan kemiskinan dapat diukur dari menurunnya persentase penduduk miskin.


Sumber  : http://pkpp.ristek.go.id/index.php/penelitian/detail/817

Pentingnya Pengertian Kesetaraan Gender pada Anak

SINDO
Selasa, 23 November 2010 14:06 wib
detail berita
Bermain bersama (Foto: Google)
PENGAJARAN anak terkait kesetaraan gender harus diberikan sejak dini. Kalau tidak, mereka kemungkinan akan melakukan diskriminasi.

Orangtua dan guru bisa berkontribusi dalam hal ini. utama dalam mengajarkan, membimbing, dan memberikan pengetahuan soal gender pada anak. Namun, tak kalah penting adalah peran seorang guru yang sangat strategis untuk menanamkan sikap kesetaraan gender. Hal itu agar ketika mereka beranjak dewasa bisa responsif terhadap diskriminasi gender. Ketika sekali saja guru di sekolah menyentuh persoalan gender, anak-anak akan terus mengingatnya, hingga usia dewasa.

Sebuah studi baru menemukan fakta bahwa jika di dalam kelas di mana anak laki-laki dan perempuan kelasnya dibuat terpisah dan bahkan dalam sapaan pun dibedakan, seperti “Selamat pagi anak laki-laki dan anak perempuan”. Pada anak-anak akan tertanam jiwa stereotip tentang gender dan bahkan melakukan perilaku diskriminasi terutama ketika memutuskan siapa yang harus bermain dengan dirinya.

”Anak-anak di dalam kelas nantinya akan menyatakan kurang berminat bermain dengan anakanak dari jenis kelamin yang berbeda,” kata psikolog perkembangan Lynn Liben dari Pennsylvania State University, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian bersama mahasiswa pascasarjana di universitas yang sama, Lacey Hilliard seperti dikutip laman livescience. com.

”Tidak hanya terjadi di survei, tapi kami juga mengamati anakanak yang sedang bermain di lingkungan sekitar. Terdapat penurunan jumlah yang signifikan di ruang-ruang kelas di mana seorang anak bermain dengan anak dari jenis kelamin lainnya,” lanjut Liben. Dalam studi ini, para peneliti membandingkan 57 orang anak-anak prasekolah.

Setengah dari mereka berada di ruang kelas di mana guru menahan diri untuk tidak membuat pembagian grup berdasarkan jenis kelamin. Di bagian lain dari ruang kelas, guru diminta untuk menggunakan bahasa gender dan menyoroti dua kategori gender. Misalnya, ada dua papan tulis yang berbeda, satu untuk anak laki-laki dan yang lainnya untuk anak perempuan untuk mencatat hasil belajar mereka.

Meskipun begitu, di kelas tersebut para guru tidak boleh mengekspresikan stereotip tentang perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Selain itu, juga tidak boleh mendukung persaingan atau perbandingan antara keduanya. Hasilnya, hanya memperlihatkan fakta gender saja anak-anak telah mengerti soal stereotip, seperti anak perempuan hanya boleh bermain dengan boneka bayi atau menjadi penari, sedangkan anak laki-laki seharusnya bermain dengan peralatan dan menjadi petugas pemadam kebakaran.

Penelitian sebelumnya sebenarnya telah mengungkapkan bahwa stereotip gender sangat berpengaruh terhadap anak-anak. Misalnya, apa yang anak pikir baik berdasarkan jenis kelaminnya dan apa profesi yang mereka kejar saat dewasa. Temuan studi baru ini menunjukkan, 37 persen anak-anak dari guru yang tidak berbicara tentang gender memilih bermain dengan kelompok yang termasuk di dalamnya anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

Sementara di kelas di mana guru sangat memperhatikan jenis kelamin, hanya 13 persen di antaranya yang memilih untuk bermain dengan kelompok yang termasuk anak-anak dari jenis kelamin lainnya.

”Sejauh yang kami temukan bahwa hanya kelas di sekolah yang kami teliti ini yang menunjukkan sikap stereotip, yang kemungkinan memiliki beberapa dampak jangka panjang seperti garis hidup saat mereka dewasa, seperti pilihan pendidikan dan pekerjaan,” kata Liben.

Karena anak-anak cenderung untuk belajar bagaimana menjadi ”anak laki-laki yang biasanya”dan ”anak perempuan yang biasanya” melalui bersosialisasi dengan sahabat mereka, maka tidak heran semakin sedikit anak bermain dengan temannya dari jenis kelamin yang berbeda. Karena itu, semakin perbedaan gender dibesar-besarkan terkait teman bermain, maka kelompok anak ini akan semakin terpisah.

Liben mengatakan, penelitian mendukung gagasan bahwa sekolah campur kemungkinan memiliki dampak yang lebih baik untuk anak-anak dalam jangka panjang pertumbuhannya dibanding sekolah yang hanya menerima satu jenis kelamin, yang tentu dapat melestarikan stereotip berpikir tentang gender. Guru juga harus menyadari jikalau bahasa yang digunakan akan memengaruhi kehidupan dan tingkah laku anak-anak.

”Salah satu implikasi dari masalah ini adalah bahwa struktur di dalam kelas itu benar-benar penting,” ujar Liben.

”Saya rasa ini mungkin lebih masuk akal untuk ‘anak’ menggunakan bahasa dan bahasa ‘teman’, bukan ‘anak lakilaki’ dan ‘anak perempuan’,” lanjutnya. Banyak pihak mungkin tidak menyadari bahwa bahasa gender seperti itu akan merusak jiwa anak.

Tetapi, kata Liben, efek yang sama berbahaya akan terjadi ketika anak-anak dipisahkan berdasarkan ras di kelas. “Jangan sampai Anda memanggilnya dengan ‘selamat pagi anak kulit putih dan anak kulit hitam’. Anda tidak akan pernah mengatakan atau memiliki garis terpisah antara si putih dan si hitam,” tegasnya.

Studi ini secara lengkap dicetak pada edisi November/ Desember jurnal Child Development.

Sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2010/11/23/196/396080/pentingnya-pengertian-kesetaraan-gender-pada-anak

Selasa, 01 Mei 2012

Eksistensi Perempuan di Pembangunan

SEMANGAT juang RA Kartini dalam mengangkat derajat kaum perempuan senantiasa mengakar di dalam sanubari perempuan Indondesia. Dengan semangat emansipasi wanita, perempuan masa kini juga dapat berperan aktif dalam mengisi Pembangunan baik itu pembangunan fisik maupun fisik.
Wanita merupakan tiang negara, jika wanita di suatu negara mumpuni, maka jayalah negara tersebut. Wanita sebagai ujung tombak dalam membentuk karakter bangsa. Membatasi perempuan dalam berkiprah di luar lingkup domestik tugas perempuan merupakan suatu bentuk kebodohan terhadap perempuan.
Setiap insan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam hal menuntut ilmu serta berperan aktif dalam setiap lini pembangunan baik itu sosial, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya tentunya juga tidak melanggar aturan-aturan serta norma-norma yang berlaku.
Dr Maya Suryanti satu dari ratusan ribu kaum perempuan yang ada di Tanjungpinang yang juga turut berperan aktif dalam memberikan sumbangsih bagi pembangunan di Kota Gurindam. Baik itu pembangunan fisik maupun non fisik khususnya program-program yang diperuntukkan bagi kaum perempuan.
Beberapa program dan kegiatan diselenggarakan oleh dr Maya Suryanti dalam memberikan sumbangsih bagi masyarakat Kota Tanjungpinang. Dalam memotivasi semangat berwirausaha di kalangan ibu-ibu PKK dan Majelis Taqlim di Kota Tanjungpinang, dr Maya juga turut memberikan dukungan untuk pengembangan usaha yang mereka jalani khususnya ekonomi mikro.
Ini merupakan salah satu wujud kepedulian dr Maya terhadap usaha ekonomi mikro agar dapat lebih berkembang sehingga dapat meningkatkan ekonomi rakyat kecil, dan juga untuk menyebarluaskan semangat “demam wirausaha” di kalangan masyarakat.
”Dalam menjalankan suatu usaha kita harus menanamkan semangat entrepreneurship yaitu semangat pantang menyerah dan terus melakukan inovasi dalam menumbuhkembangkan usaha yang sedang dijalani. Sehingga dapat mendongkrak perekonomian di Kota Tanjungpinang,” kata dr Maya di sela-sela kunjungannya di beberapa PKK dan Majelis Taqlim di Kota Tanjungpinang.
Selanjutnya dalam bidang kesehatan, dr Maya memberikan pelayananan kesehatan gratis kepada masyarakat Ko ta Tanjungpinang yang diselenggarakan keliling di wilayah Kota Tanjungpinang. Baginya kesehatan masyarakat adalah tujuan utama, apabila tubuh sehat maka kita dapat menjalankan aktivitas yang kita jalankan sehari-hari. Dalam bidang pendidikan dr Maya menyediakan pelayanan Perpustakaan Keliling bagi anak-anak usia dini, tujuannya untuk menumbuhkan semangat minat baca bagi anak, dengan membaca kita dapat menggenggam dunia dan dapat mencerdaskan anak bangsa.
 

Foto proses pemberdayaan perempuan